BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia
dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan
hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang ingin
diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga
atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal
ini dimaksudkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan
tidak boleh berakhir begitu saja.
Perkawinan
pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi,
agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Usia
perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena
kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi
suami-istri. Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat
(1) UU No. I tahun 74, yaitu perkawian hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudak mencapai umur 16 tahun. Namun
dalam prakteknya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia muda atau di
bawah umur, padahal perkawianan yang sukses membutuhkan kedewasaan
tanggungjawab secara fisik maupun mental untuk bisa mewujudkan garapan yang
ideal dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya
bagi psikologis anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi
tumbuh perkembangan anak sejak lahir hingga dengan dewasa maka pola asuh anak
dalam perlu disebar luaskan pada setiap keluarga.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa definisi pernikahan?
2.
Apa pengertian pernikahan muda?
3.
Apa faktor-faktor yang mendukung perkawinan usia muda?
4.
Apa-apa saja dampak perkawinan usia muda?
5.
Apa-apa saja dampak perkawinan usia muda dalam pendidikan?
6.
Apa upaya-upaya pencegahan pernikahan dini?
3.
Tujuan
1.
Menjelaskan definisi pernikahan.
2.
Menjelaskan pengertian pernikahan
muda.
3.
Menjelaskan faktor-faktor yang mendukung perkawinan usia muda.
4.
Menjelaskan dampak perkawinan usia muda.
5.
Menjelaskan dampak perkawinan usia muda dalam pendidikan.
6.
Menjelaskan upaya-upaya pencegahan pernikahan dini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Dalam UU Nomor 1
Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan atau pernikahan sebagai
berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Ahmad A,
(1997:69) mendefinisikan pernikahan adalah melaksanakan Aqad (perikatan yang
dijalin dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh
seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat
untuk menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada
yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman
hidup).
B.
Pengertian Pernikahan Usia Muda / Remaja
Usia muda adalah anak yang ada pada masa peralihan
diantara masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan
cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap
dan cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang
(Zakiah Daradjat, 1997:33).
Menurut Konopka (1976:241), menjelaskan bahwa masa
muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun
sama halnya dengan teori yang diungkapkan oleh Monks (1998:262) batasan usia
secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15
tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda
akhir.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (1994:212) menyatakan
secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar.
Menurut Sarlito Wirawan (1991:51) masa muda adalah
masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa bukan hanya psikologisnya saja
akan tetapi juga fisiknya. Bahkan perubahan fisik itulah merupakan gejala
primer dari pertumbuhan usia muda, sedangkan perubahan-perubahan psikologis itu
muncul sebagai akibat dari perubahan fisik.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa masa muda adalah seseorang yang telah menginjak usia dua
belas tahun dan kira-kira berakhir usia dua puluh satu tahun, yang disebut juga
dengan masa badai dan tekanan sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar
yang mana sangat berpengaruh pada psikologi usia muda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pernikahan
usia muda/remaja adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada
hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis,
psikologis maupun sosial ekonomi.
Di Indonesia pernikahan dini sekitar 12-20% yang
dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan
usia muda yang rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan
dini dengan pasangan usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah
21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena diusia itu organ reproduksi
perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap
untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki
pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang
kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan
sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan
yang matang dari satu sisi dapat mengindikasi sikap tidak appresiatif terhadap
makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan
dalam pernikahan.
C.
Faktor-faktor yang
Mendukung Perkawinan Usia Muda
Faktor-faktor yang mendukung perkawinan usia muda
sebagai berikut:
1. Faktor Lingkungan
Alasan orang tua
segera menikahkan anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan
ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai
perempuan yang mereka inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan
membawa keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai
laki-laki setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya.
Dimana perkawinan
tersebut dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia
(orang tua mempelai perempuan atau orang tua mempelai laki-laki) yang
sebelumnya diantara mereka pernah mengadakan perjanjian sebesanan agar tali
persaudaraan menjadi kuat. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian
antar kerabat dan untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak
disetujui oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya
perkawinan tersebut.
2. Faktor
Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda
dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut:
a. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan
pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab
menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima
sumbangan-sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai
taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya kebutuhan
kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.
b. Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan
usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab
dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar
kelak si anak dari kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat
menjamin kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang
tuanya, dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang usaha yang saling
membutuhkan serta saling melengkapi. Bahkan setelah perkawinan usia muda
tersebut terjadi, lazimnya langkah-langkah pendekatan sudah mulai diambil,
sedemikian rupa sehingga kedua cabang usaha tersebut berkembang menjadi satu
usaha yang lebih besar.
3. Faktor
Sosial
Di dalam melangsungkan suatu perkawinan, di sini
wanita tidak mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini
berdasarkan pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat
perkembangan fisik tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat
itu tidak mengenal batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan
cakap hukum ataupun yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit
menurut kondisi, tempat, serta lingkungan sekitarnya. Di sini yang dimaksud
sudah dewasa adalah mencapai suatu umur tertentu sehingga individu yang
bersangkutan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri antara lain :
a. Sudah
mampu untuk menjaga diri.
b. Cakap
untuk mengurus harta benda dan keperluan sendiri.
c. Cakap
untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan segala-galanya sendiri.
4. Faktor Agama
Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan
pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam
perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk
berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek
yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan.
D.
Dampak Pernikahan Usia
Muda
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan
oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan anak-anak atau
remaja yang berusia dibawah 19 tahun.
Pernikahan dini bukanlah merupakan sesuatu
yang baru di Indonesia, alasannya pun berbagaimacam, misalnya masalah ekonomi,
rendahnya pendidikan, pemahaman budayadan nilai-nilai agama tertentu, karena
hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by
accident ), hal ini menyebabkan masalah ini menjadi rumit dan sulit dicari
pemecahannya.
Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20%
yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan
usia mudausia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan
dini dengan usia pengantin di bawah usia 19 tahun sebanyak 34,5%.
Berbagai dampak pernikahan dini atau
perkimpoian dibawah umur dapatdikemukakan sebagai berikut :
1. Dampak
positif
Dampak
positif dari Pernikahan usia muda sebagai berikut:
a.
Menghindari perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama Pernikahan usia muda
pada dasarnya tidak dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut
mempunyai implikasi dan tujuan untuk menghindari adanya perzinahan yang sering
dilakukan para remaja yang secara tersirat maupun tersurat dilarang baik oleh
agama maupun hukum.
b.
Belajar bertanggung jawab
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk
menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh
karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta
komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di
tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan
motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya
sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
2. Dampak negative
Dampak
negatif dari perkawinan usia muda sebagai berikut.
a. Segi
Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda
dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian
bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut
ilmu kesehatan, usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35
tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering
mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan dapat
menyebabkan terjadinya cacat bawaan, fisik, maupun mental, penyakit ayan,
kebutaan, dan ketulian.
b. Segi
pendidikan
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa
seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu
akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil
contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau
SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan
yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena
motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain,
pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan,
seperti realita yang ada didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai
pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia
tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
c. Segi
Fisik
Pasangan usia muda
belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik, untuk
mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor
ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan
dan kebahagiaan rumah tangga. Rasa ketergantungan kepada orang tua harus
dihindari, utamanya bagi pria.
d. Segi
Mental/Jiwa
Pasangan usia muda
belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan
tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih
memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosionalnya.
e. Segi
Kependudukan
Perkawinan usia muda,
ditinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang
tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.
f.
Segi Kelangsungan Rumah Tangga
Perkawinan usia muda
adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih
rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian.
E. Dampak
Pernikahan Dini Dalam Dunia Pendidikan
Di
bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai
pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan
sekolah setelah kawin.
Country
Director Plan Indonesia John McDonough menyatakan keprihatinannya terhadap
angka pernikahan dini di Indonesia. Menurutnya, pemberdayaan anak perempuan
bisa mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur ini.
McDonough menambahkan, program pemberdayaan
ini memberikan hasil optimal dengan juga melibatkan ayah, saudara laki-laki,
dan suami. Tak hanya perempuan, laki-laki juga perlu dilibatkan dalam
menciptakan kesetaraan jender.
Program pemberdayaan tersebut meliputi ekonomi
keluarga, advokasi, pendidikan dan penelitian tentang pernikahan dini, serta
kampanye pemberdayaan dan partisipasi anak perempuan. "Program-program
pemberdayaan anak perempuan yang dimiliki Plan juga melibatkan laki-laki dewasa
dan anak-anak,”.
F.
Upaya Pencegahan
terjadinya Pernikahan Muda
Pemerintah harus
berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak
di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan
anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya.
Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang
terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan
pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat
pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya
tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah
sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak
dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta
berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di
sekitar mereka. Sinergi antara
pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah
terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak
akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak –
anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
Berikut ini adalah upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan muda, yaitu:
·
Undang-undang
perkawinan
Undang-undang
negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang
Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur
16 (enam belas tahun) tahun.
Kebijakan
pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui
proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak
benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari
sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi
ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi
sosial, pernikahan dini dapat mengurangi
harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak
darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari
berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya,
pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16
tahun untuk wanita.
·
Bimbingan kepada remaja
dan kejelasan tentang sex education
Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan
reproduksi (kespro) atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya
diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui
pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya
pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan
remaja. Materi pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang
upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan
reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para
remaja.
Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di
Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya
anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan
mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih
memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.
Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan
seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja
tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada
perilaku-perilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun
psikologis.
·
Memberikan penyuluhan
kepada orang tua dan masyarakat.
·
Bekerja sama dengan
tokoh agama dan masyarakat
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan
usia muda/remaja adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada
hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis,
psikologis maupun sosial ekonomi.
Pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur lebih
banyak dampak negatif dari pada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang.
Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan
anaknya dalam usia dini atau harus memahami peraturan perundang-undangan untuk
melindungi anak.
Berikut ini adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah pernikahan muda, yaitu:
·
Undang-undang
perkawinan
·
Bimbingan kepada remaja
dan kejelasan tentang sex education
·
Memberikan penyuluhan
kepada orang tua dan masyarakat.
·
Bekerja sama dengan
tokoh agama dan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Satistik, 1986. Pola Umur
Perkawinan. Jakarta.
Sarwono, S. Wirawan (1997). Psikologi
Remaja. Jakarta: Raja Griya Persada.
0 komentar:
Posting Komentar